Langsung ke konten utama

Goresan Kegelisahan




Sampai kapan kita saling caci maki
Konsep keagamaan lahir untuk perdamaian
Kenapa malah jadi pertikaian?

Atau mungkin kalian kurang baca?
Makanya jadi kesetanan?

Kalau agama menjadi alat utama tuk lahirkan peperangan
Minta izin ke orangtuamu, Jadi atheis sekalian

Percaya tidak percaya
Muhammad, Yesus, Siddharta Gautama
Sedang panik di depan Sang pencipta

Menunduk malu, melihat banyak pengikutnya
Yang lebih amis dari anjing tak berbulu.


----------------------------------------------------------------------------------------------------- 

Aku pernah mencintai Indonesia, sampai banyak bicara
Pernah berisik dalam perbincangan agama,
Menjadi bagian dari para pencari perdebatan
Lalu aku memilih usai

Bukannya, “menjadi” dan “menikmati”
Lebih baik dari “meminta” dan “menghakimi?”
Bukannya “menghargai” dan “menjalani”
Lebih baik dari “menghardik” dan “sok paham”?
Bukannya menjadi teman bicara
Lebih baik dari lawan bicara?

Aku memilih berbagi cinta dan keindahan hidup
Memilih berbagi saran dibanding mengkritik tajam

Membuka buku, di temani kopi
Dan tersenyum seraya berkata dalam hati
‘Selama kau masih bisa berbaik hati pada orang lain
Maka hidup akan baik-baik saja’

“Jadilah air yang keras kepala: Tidak mengikuti arus namun tetap menenangkan”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senjata Makan Tuan

Suatu hari, ada seorang anak SD bertanya kepada ayahnya mengenai apa itu politik. “Pak, politik itu apa sih?” Tanya Tono kepada bapaknya. “Duh Nak, pertanyaanmu terlalu berat untuk anak seusiamu,” Jawab bapakTono. “Tapi Tono pengen tau Pak.” Tanya Tono kembali. “Yaudah begini saja, bapak coba jelaskan sedikit dengan bahasa yang mudah dimengerti” Jawab si bapak sambil mengusap-mengusap rambut Tono “Nah, gitu dong Pak” Tutur Tono sambil tersenyum. “Bapak kan kepala keluarga yang tugasnya mencari nafkah, dimisalkan bapak ini kapitalisme. Kalo ibumu itu mengatur keuangan untuk keluarga, diibaratkan ibumu itu pemerintah. Kapitalisme dan pemerintah, jadi bapak dan ibumu tugasnya memenuhi kebutuhanmu sebagai anak, dan bapak mengibaratkan kamu ini rakyat. Nah, bi Inem pembantu kita, bapak umpamakan sebagai buruh dan adikmu yang masih kecil itu bapak anggap masa depan. Jadi kalo diibaratkan politik itu seperti itu. Sekarang coba kamu pikirkan sendiri, coba hubungkan dengan kehidupan

Bicara Kopi

Aku menyeduhnya dengan filosofiku sendiri Setiap butirnya tersemat banyak rasa Malam ini amarahku mendominasi rasa itu Kopi hitam tanpa gula Rasa hambar yang tidak sama sekali enak Begitu orang awam menyebutnya, namun Bagiku tidak, kopi lebih dari itu  Kopi banyak menolongku Sekarang aku sedang dikedai kopi Kata ia yang kuajak bercengkrama "lagi pahit ditambah pahit" Wajar saja, ia hanya tidak tahu Sebenarnya memang begitu cara mengkonsumsi kopi Jika manis, untuk apa susah-susah meraciknya Tinggal buka lalu seduh, selesai. Kopi bukan sekadar minuman Perlu mencintainya untuk mendapatkan rasa terenak Jika tidak menggunakan filosofi, kau akan menilai itu biasa saja. Namun saat kau tahu bagaimana cara mengeksekusinya Aku yakin kau tidak lagi bisa mengelak, kopi bisa mencanduimu.

Teruntuk Wanita Berkerudung Jingga

Selamat senja, wanita berkerudung jingga Sedang apa kau sekarang Yang jelas tidak sedang memikirkanku bukan Itu memang bukan tugasmu, tetapi kewajibanku Wanita berkerudung jingga Aku senang melihatmu dalam diam Jangan menoleh jika sedang kutatap Aku hanya takut kau tidak merasa nyaman Wanita berkerudung jingga Hatiku juga sukar berkata rindu Tidak tahu, sungguh Rindu apa yang selalu memikirkanmu Namun aku senang, kuharap kau juga begitu Wanita berkerudung jingga Aku ingin bertemu ibumu Tapi takut untuk menatapnya Pasti wajahnya tak jauh indahnya sepertimu Wanita berkerudung jingga Sepertinya Guru ngajiku salah Awalnya dulu aku percaya Ia bilang bidadari hanya ada disurga Lantas kau apa? Apakah Allah salah menempatkanmu?