Langsung ke konten utama

Bapak Republik yang Dilupakan



Diburu oleh polisi rahasia di dua benua dan 11 negara, menguasai delapan bahasa (Indonesia, Minang, Belanda, Rusia, Jerman, Inggris, Mandarin, dan Tagalog), memiliki 23 nama samaran, 13 kali di penjara, memiliki lima jenis pekerjaan, 20 tahun di dalam pelarian. Lantas, siapakah dia?

Dalam pelajaran sejarah sejak SD sampai SMA, kita mengenal nama-nama seperti Sukarno, Bung Hatta, H. Agus Salim, dan tokoh lainnya. Namun, ada satu nama yang lupa disebutkan dalam pelajaran sejarah kita ini. Sosok revolusioner, seorang penggagas pertama kata Republik Indonesia yang berasal dari Padang. Gigih menentang penjajah cintanya pada negeri tak terbantah, berpikiran visioner dan revolusioner. Namun sayang, karena alasan ideologi namanya tenggelam.

Dia adalah Tan Malaka yang bernama asli Sutan Ibrahim, lahir tanggal 2 Juni 1897 di Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat. Putra dari Rasad Caniago dan Sinah Simabur, dia mendapat gelar semi bangsawan dari ibunya, menjadi Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka.

Semasa kecil, Tan Malaka hidup dalam lingkungan agama yang kuat di kampungnya. Ia bahkan senang mempelejari agama, ilmu beladiri, dan olahraga sepak bola. Pada tahun 1908, saat berusia 21 tahun,  ia didaftarkan ke Kweek school (Sekolah Guru Negara) di kota kelahirannya. Ia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan selalu juara di kelasnya. Dia khatam Al-Qur'an pada umur 10 tahun dan dalam raport nilainya, semua pelajaran ia mendapat nilai 10, tidak ada yang 9.

Menurut Horensma, salah satu guru di sekolahnya itu, Tan Malaka adalah murid yang cerdas, meskipun kadang-kadang tidak patuh. Di sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang guru di sekolah Belanda. Ia juga adalah seorang pemain sepak bola yang bertalenta. Setelah lulus dari sekolah itu pada tahun 1913, ia ditawari gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar datuk. Gelar tersebut diterimanya dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913.

Meskipun diangkat menjadi datuk, pada Oktober 1913, ia meninggalkan desanya untuk belajar di Rijks kweeks school (sekolah pendidikan guru pemerintah), dengan bantuan dana oleh para engku (sebutan untuk keluarga raja) dari desanya. Sesampainya di Belanda, Malaka mengalami kejutan budaya dan pada tahun 1915, ia menderita pleuritis(penyakit paru-paru). Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai muncul dan meningkat setelah membaca buku de Fransche Revolutie yang ia dapatkan dari seseorang sebelum keberangkatannya ke Belanda oleh Horensma.

Setelah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, ia mulai tertarik mempelajari paham sosialisme dan komunisme. Sejak saat itu, ia sering membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Friedrich Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya yang merupakan filsuf dan ahli ilmu filologi. Saat itulah ia mulai membenci budaya Belanda dan terkesan oleh masyarakat Jerman dan Amerika. Karena banyaknya pengetahuan yang ia dapat tentang Jerman, ia terobsesi menjadi salah satu angkatan perang Jerman. Dia kemudian mendaftar ke militer Jerman, namun ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing.

Setelah beberapa waktu kemudian, ia bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), yakni organisasi yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia. Ia lalu tertarik dengan tawaran Sneevliet yang mengajaknya bergabung dengan Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (SDOV), atau Asosiasi Demokratik Sosial Guru. Lalu pada November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya yang disebut hulpactie.

Setelah lulus, pada tahun 1919, ia kembali ke Indonesia dan mengunjungi kampung halamannya. Tak lama setelah itu, ia mendapatkan tawaran untuk mengajarkan anak-anak kuli petani di perkebunan teh, Deli, Sumatera Utara. Ia mengajarkan bahahsa melayu. Selain sebagai guru, ia juga aktif membuat pamplet perlawanan terhadap kolonial Belanda. Ia tak rela bangsa pribumi diperlakuan tak adil oleh kaum elit. Ia juga menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh di media Sumatera Pos.

Untuk memperjuangkan nasib petani, ia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) dalam pemilihan tahun 1920. Namun, baru satu tahun, ia mengundurkan diri dan memilih membuka sekolah Rakyat di Semarang atas bantuan seorang Tokoh Syariat Islam. Di sana ia bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan lainnya, seperti K.H Agus Salim dan H.OS Tjokroaminoto.

Di tengah kesibukannya mengajar, ia tidak melupakan menulis artikel dan buku. Misalnya lahir buku Komunisme di Jawa (1922), Kuli Kontrak (1923), Naar Republiek (1925), juga buku Madilog (materalisme, dialektika, logika) antara tahun 1942-1943.

Pada tahun 1922, Tan Malaka ditangkap karena diduga terlibat aksi mogok besa-besaran buruh pegadaian dan diasingkan ke Belanda. Setelah dua puluh tahun menjalani pengasingan, Tan Malaka kembali ke Indonesia pada tahun 1942, bersamaan dengan kedatangan penjajah Jepang ke Indonesia.

Tan Malaka tak tinggal diam melihat bangsanya dijajah kembali. Ia melakukan perlawanan politik secara gerilya. Menemui Soekarno dua kali dan menyampaikan konsep strategi revolusioner melawan penajajah. Ia sendiri terus berjuang meyakinkan rakyat dan elit sehingga Indonesia merdeka pada tahun 1945. Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka manjadi pelopor aktivis sayap kiri sosialis. Ia sering dituduh melakukan perlawaan terhadap kebijakan pemerintah Indonesia yang baru, ia pun dipenjarakan pada tahun 1946. Dua tahun kemudian ia bebas setelah terjadi pemberontakan PKI di Madiun. 

Melihat kondisi pemerintah baru yang belum stabil, Tan Malaka merintis pembentukan Partai (Musyawarah Rakyat Banyak) Murba, pada 7 November 1948 di Yogyakarta. Setelah itu, Tan Malaka menuju Kediri untuk mengumpulkan sisa-sisa pemberontak PKI untuk membentuk pasukan Gerilya Pembela Proklamasi. Pada tahun 1949, ia dan anak buahnya ditangkap dan ditembak di Kediri. Ia meninggal pada usia 52 tahun. Selama puluhan tahun, tempat makamnya tak diketahui keberadaannya. Pada 2007, seorang peneliti Belanda Herry Poeze, menemukannya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Pihak keluarga meminta jasad Tan Malaka dipindahkan ke tanah kelahirannya. Pada 16 Februari 2017, prosesi penjemputan dan pemulangan jasadnya dimulai dan Tan Malaka dimakamkan di Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senjata Makan Tuan

Suatu hari, ada seorang anak SD bertanya kepada ayahnya mengenai apa itu politik. “Pak, politik itu apa sih?” Tanya Tono kepada bapaknya. “Duh Nak, pertanyaanmu terlalu berat untuk anak seusiamu,” Jawab bapakTono. “Tapi Tono pengen tau Pak.” Tanya Tono kembali. “Yaudah begini saja, bapak coba jelaskan sedikit dengan bahasa yang mudah dimengerti” Jawab si bapak sambil mengusap-mengusap rambut Tono “Nah, gitu dong Pak” Tutur Tono sambil tersenyum. “Bapak kan kepala keluarga yang tugasnya mencari nafkah, dimisalkan bapak ini kapitalisme. Kalo ibumu itu mengatur keuangan untuk keluarga, diibaratkan ibumu itu pemerintah. Kapitalisme dan pemerintah, jadi bapak dan ibumu tugasnya memenuhi kebutuhanmu sebagai anak, dan bapak mengibaratkan kamu ini rakyat. Nah, bi Inem pembantu kita, bapak umpamakan sebagai buruh dan adikmu yang masih kecil itu bapak anggap masa depan. Jadi kalo diibaratkan politik itu seperti itu. Sekarang coba kamu pikirkan sendiri, coba hubungkan dengan kehidupan

Perang Sonderbund, Perang Saudara Di Tanah Netral

Sebagian besar orang awam menganggap kalau Swiss adalah negara netral dan tidak pernah terlibat perang. Namun faktanya negara senetral dan sedamai Swiss juga tak luput dari peperangan. Sejarah itu terjadi pada tahun 1847. Swiss mengalami perang saudara yang dinamakan Perang Sonderbund atau Sonderbundkrieg. Konflik ini terjadi antara pihak pemerintah protestan yang pro-reformasi dan kelompok Sonderbund katolik konservatif. Latar belakang dari perang ini dapat ditelusuri ditahun 1840an ketika kelompok partai liberal Swiss (yang terdiri dari perwakilan canton protestan) mendominasi di dewan legislatif nasional atau Tagzatsung.Salah satu dari ambisi kelompok ini adalah menekan kekuasaan gereja katolik, kelompok ini juga membuat konstitusi baru yg berniat menyatukan semua negara bagian atau biasa disebut canton . Namun tidak semua canton menerima konstitusi ini, beberapa canton yang penduduknya mayoritas beragama katolik menolak reformasi ini dan canton Lucerne, Fribourg, Uri,